Minggu, 13 Februari 2011

bab 3. Manusia dan Penderitaan

Nama : Palupi Kusuma Wardhani
Kelas : 1KA33

Npm  : 15110296

Materi : Ilmu Budaya Dasar

Kelompok : 4

Dosen : Ninuk Sekarsari

Kekalutan Mental

Penderitaan batin dalam ilmu psikologi dikenal sebagai kekalutan mental. Secara lebih sederhana kekalutan mental adalah gangguan kejiwaan akibat ketidakmampuan seseorang menghadapi persoalan yang harus diatasi sehingga yang bersangkutan bertingkah laku secara kurang wajar. Gejala permulaan bagi seseorang yang mengalami kekalutan mental adalah :
• nampak pada jasmani yang sering merasakan pusing, sesak napas, demam, nyeri pada lambung
• nampak pada kejiwaannya dengan rasa cemas, ketakutan, patah hati, apatis, cemburu, mudah marah

Tahap-tahap gangguan kejiwaan adalah :
• gangguan kejiwaan nampak pada gejala-gejala kehidupan si penderita bais jasmana maupun rokhani
• usaha mempertahankan diri dengan cara negative
• Kekalutan merupakan titik patah (mental breakdown) dan yang bersangkutan mengalam gangguan

Sebab-sebab timbulnya kekalutan mental :

• Kepribadian yang lemah akibat kondisi jasmani atau mental yang kurang sempurna
• terjadinya konflik sosial budaya
• cara pematangan batin yang salah dengan memberikan reaksi yang berlebihan terhadap kehidupan sosial
Proses kekalutan mental yang dialami seseorang mendorongnya kearah positif dan negative. Posotf; trauma jiwa yang dialami dijawab dengan baik sebgai usaha agar tetap survey dalam hidup, misalnya melakukan sholat tahajut, ataupun melakukan kegiatan yang positif setelah kejatuhan dalam hidupnya. Negatif; trauma yang dialami diperlarutkan sehingga yang bersangkutan mengalami fustasi, yaitu tekanan batin akibat tidak tercapainya apa yang diinginkan.
Bentuk fustasi antara lain :
• agresi berupa kamarahan yang meluap-luap akibat emosi yang tak terkendali dan secara fisik berakibat mudah terjadi hypertensi atau tindakan sadis yang dapat membahayakan orang sekitarnya
• regresi adalah kembali pada pola perilaku yang primitive atau kekanak-kanakan
• fiksasi; adalah peletakan pembatasan pada satu pola yang sama (tetap) misalnya dengan membisu
• proyeksi; merupakan usaha melemparkan atau memproyeksikan kelemahan dan sikap-sikap sendiri yang negative kepada orang lain
• Identifikasi; adalah menyamakan diri dengan seseorang yang sukses dalam imaginasinya
• narsisme; adalah self love yang berlebihan sehingga yang bersangkutan merasa dirinya lebih superior dari paa orang lain
• autisme; ialah menutup diri secara total dari dunia riil, tidak mau berkomunikasi dengan orang lain, ia puas dengan fantasinya sendiri yagn dapat menjurus ke sifat yang sinting.
Apabila kita kelompokkan secara sederhana berdasarkan sebab-sebab timbulnya penderitaan, maka penderitaan manusia dapat diperinci sebagai berikut :
• Penderitaan yang timbul karena perbuatan buruk manusia
• Penderitaan yang timbul karena penyakit, siksaan/azab Tuhan
Orang yang mengalami penderitaan mungkin akan memperoleh pengaruh bermacam-macam dan sikap dalam dirinya. Sikap yang timbul dapat berupa sikap positif ataupun sikap negative. Sikap negative misalnya penyesalan karena tidak bahagia, sikap kecewa, putus asa, atau ingin bunuh diri. Kelanjutan dari sikap negatif ini dapat timbul sikap anti, mislanya anti kawain atau tidak mau kawin, tidak punya gairah hidup, dan sebagainya. Sikap positif yaitu sikap optimis mengatasi penderitaan, bahwa hidup bukan rangkaian penderitaan, melainkan perjuangan membebaskan diri dari penderitaan dan penderitaan itu adalah hanya bagian dari kehidupan. SIkap positif biasanya kreatif, tidak mudah menyerah, bahkan mungkin timbul sikap keras atau sikap anti. Misalnya sifat anti kawin paksa, ia berjuang menentang kawin paksa, dan lain-lain.

Case Study :
 
Kemiskinan ekstrem adalah sesuatu yang harus saya sebut sebagai ketololan. (Bono, personel band U2) Beberapa hari lalu media di Tanah Air ramai memberitakan peristiwa yang sempat menggemparkan Kota Bandung. Anik Koriah, seorang ibu, karena impitan ekonomi, tega membunuh tiga anaknya, Abdullah Faras
(6), Aulia Rahmatullah (4), dan Umar Nasrullah yang baru berumur 9 bulan.

Sekitar setahun terakhir ini kita sering ditunjukkan berbagai bentuk metamorfosis kemiskinan. Putus asa karena tidak lagi mempunyai biaya untuk mengobati anaknya yang sakit, seorang ibu di Jakarta terpaksa
mengambil jalan pintas, bunuh diri bersama kedua anaknya. Seorang ibu di Banyumas mengakhiri hidup dengan menceburkan diri ke Sungai Serayu beserta seorang anaknya yang balita. Juga seorang ibu eksodan Aceh di Semarang, ia tega membunuh anaknya dengan mencelupkan di air
mendidih. Dan banyak contoh tragis lain.

Contoh-contoh itu bukan untuk mendramatisir keadaan, tetapi mengingatkan kita, utamanya para penentu kebijakan, betapa kini kehidupan masyarakat kian menyesakkan. Untuk sekadar membeli makanan dan obat bagi anak yang sedang sakit, mereka tak mampu lagi. Kondisi kesulitan hidup dan kemiskinan seperti ini mengakibatkan makin banyak orang tidak dapat berpikir secara rasional lagi.

Jebakan kekurangan
Kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi deprivesi atas sumber pemenuhan kebutuhan dasar, seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan dasar. Menurut Robert Chamber (1983), inti kemiskinan
pada apa yang disebut jebakan kekurangan (deprivation trap). Jebakan kekurangan ini meliputi lima ketidakberuntungan, yaitu kemiskinan itu sendiri, kelemahan fisik, keterasingan, kerentanan, dan ketidakberdayaan. Kelimanya saling mengait, yang akhirnya menimbulkan jebakan kekurangan.
Kerentanan dan ketidakberdayaan menyebabkan keluarga miskin menjadi kian miskin. Kerentanan terlihat dari ketidakmampuan keluarga miskin menyediakan sesuatu guna menghadapi situasi darurat, seperti
datangnya bencana alam atau penyakit. Kerentanan sering menimbulkan roda penggerak kemiskinan (poverty racket) yang menyebabkan keluarga miskin harus menjual hartanya.

Kekalutan mental

Semua bencana itu, ditambah kondisi perekonomian bangsa yang tak kunjung membaik, memicu peningkatan jumlah penderita kekalutan mental (mental disorder). Yaitu bentuk gangguan dan kekacauan fungsi mental
yang disebabkan kegagalan mekanisme adaptasi dari fungsi- fungsi kejiwaan terhadap stimuli eksternal dan ketegangan-ketegangan.

Ekspresi yang ditimbulkan dari kondisi itu antara lain konflik batin berkepanjangan, terputusnya komunikasi sosial dan disorientasi sosil yang menjurus tumpulnya jiwa (hebefrenic). Tak jarang para penderita
melakukan destruksi diri dan bunuh diri bersama orang yang mereka cintai.

Jika kebutuhan paling vital seperti makan, minum, tidur, pakaian,istirahat, dan lainnya tidak terpenuhi, ini akan mengakibatkan ancaman eksistensi diri. Timbullah aneka keguncangan dan gangguan mental dari taraf paling ringan sampai paling berat, misalnya psikosis (Kartini Kartono, 1981 : 269-305). Guna mengubah keadaan orang miskin ke arah lebih baik, harus diadakan perubahan tiga hal secara simultan. Pertama, penambahan resources, misalnya kesempatan kerja dan pendidikan. Kedua, perubahan struktur sosial masyarakat. Ketiga, perubahan subkultur masyarakat miskin itu (Valentine, 1968).

Pemberian akses kredit mikro kepada penduduk miskin diyakini amat berperan mengatasi akar kemiskinan. Hasil-hasil riset FAO, UNDP, dan Bank Dunia di beberapa negara, seperti India dan Banglades,
menunjukkan, akses kredit bagi kaum miskin amat signifikan memberdayakan warga yang dulu miskin. Pemberian bantuan yang sifatnya konsumtif dan instan semisal bantuan langsung tunai (BLT) perlu
dikaji ulang efektivitasnya. Perang terhadap kemiskinan akan berhasil jika semua elite politik
memiliki political will yang tinggi. Saatnya kemiskinan dijadikan musuh bersama dalam aksi nyata, bukan hanya dalam ramuan kata saat kampanye politik. Membiarkan kemiskinan menggerogoti masyarakat
adalah sebuah bentuk ketololan.


Opini saya tentang kasus tsb :

Terkadang kita sebagai manusia kurang rasa bersyukur kepada Allah SWT. Semua serba kekurangan atau merasa belum puas dengan apa yang sudah kita dapat. Untuk urusan dunia bisa kita lihat ke bawah karena masih ada diantara saudara kita yang masih hidup dibawah garis kemiskinan, dan untuk urusan akhirat bisa kita lihat orang-orang diatas kita yang selalu taat dan bersyukur atas segala nikmat yang telah kita dapat.

Bab 2. Manusia dan cinta kasih

Bab 2 Manusia dan Cinta Kasih

Nama : Palupi Kusuma Wardhani
Kelas : 1KA33
Npm : 15110296
Materi : Ilmu Budaya Dasar
Kelompok : 4
Dosen : Ninuk Sekarsari

Pemujaan adalah salah satu manifestasi cinta manusia kepada Tuhannya yang diwujudkan dalam bentuk komunikasi ritual. Kecintaan manusia kepada Tuhan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Hal ini ialah karena pemujaan kepada Tuhan adalah inti , nilai dan makna kehidupan yang sebenarnya.
Tuhan adalah pencipta, tetapi Tuhan juga penghancur segalanya, bila manusia mengabaikan segala perintahNya. Karena itu ketakutan manusia, manusia selalu mendampingi hidupnya dan untuk menghilangkan ketakutan itu manusia memujaNya. Karena itu jelaslah bagi kita semua, bahwa pemujaan kepada Tuhan adalah bagian hidup manusia, karena Tuhan pencipta semesta termasuk manusia itu sendiri, dan pencintaan semesta untuk manusia. Kalau manusia cinta kepada Tuhan, karena Tuhan sungguh maha pengasih lagi maha penyanyang. Kecintaan manusia itu dimanifestasikan dalam bentuk pemujaan atau sholat. Dalam kehidupan manusia terdapat berbagai cara pemujaan sesuai dengan agama, kepercayaan, kondisi dan situasi. Sholat di rumah, di masjid, sembahyang di pure, di Puncak cinta manusia yang paling bening, jernih dan spiritual ialah cintanya kepada Allah. Dan kerinduannya kepadaNya, tidak hanya dalam sholat, pujian dan doanya saja tetapi juga dalam semua tindakan dan tingkah lakunya semua tingkah laku dan tindakannya ditunjukan kepada Allah mengharapkan penerimaan dari ridhoNya.

Cinta yang ikhlas seorang manusia kepada Allah akan membuat cinta itu menjadi kekuatan pendorong yang mengarahkan dalam kehidupannya dan menundukan semua bentuk kecintaan lainnya. Cinta inipun juga akan membuatnya menjadi seorang yang cinta kepada sesama manusia, hewan, semua makhluk Allah dan seluruh alam semesta sebab dalam pandangannya semua wujud yang ada disekelilingnya mempunyai manifestasi dari Tuhannya yang membangkitkan kerinduan-kerinduan spiritualnya dan harapan kalbunya.

Case Study :

Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Buddha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apa pun", atau perubahan sesedikit mungkin:

Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.
  
(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)

Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar.
Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya Pu'un atau ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen (Permana, 2003a).
Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam.
 
Opini saya tentang kasus tsb :
Kepercayaan dengan memuja patung, arwah nenek moyang, dan sebagainya adalah kegiatan musyrik dan tidak diajarkan dalam agama islam. Akan tetapi hak warga negara adalah menganut atau memeluk agama sesuai dengan kepercayaannya masing-masing. Dan setelah masuknya agama islam masyarakat mulai mengetahui dan mempelajari Agama Islam tsb.
 

Ilmu Sosial Dasar smstr 2

Bab 1 - Manusia dan Kebudayaan

Nama : Palupi Kusuma Wardhani
Kelas : 1Ka33
Npm : 15110296
Materi : Ilmu Budaya Dasar
Kelompok : 4
Dosen : Ninuk Sekarsari


Pengertian kebudayaan menyangkut bermacam-macam definisi yang telah dipikirkan oleh sarjana-sarjana bidang sosial budaya diseluruh dunia. Dua orang antropolog terkemuka yaitu Melville J. Herkovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa Cultural Determinism berarti segala sesuatu yang terdapat di dalam masyarakat ditentukan adanya oleh kebudayaan yang dimiliki masyarakat itu. Herkovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang superorganic, karena kebudayaan yang turun temurun dari generasi ke generasi hidup terus. Walaupun orang-orang yang menjadi anggota masyarakat senantiasa silih berganti disebabkan kematian dan kelahiran. Pengertian kebudayaan meliputi bidang yang luasnya seolah-olah tidak ada batasnya. Dengan demikian sukar sekali untuk mendapatkan pembatasan pengertian atau definisi yang tegas dan terinci yang mencakup segala sesuatu yang seharusnya temiasuk dalam pengertian tersebut. Dalam pengertian sehari-hari istilah kebudayaan sering diartikan sama dengan keseruan, terutama seni suara dan seni tari. Kebudayaan jika dikaji dari asal kata bahasa sansekerta berasal dari kata budhayah yang berarti budi atau akal. Dalam bahasa latin, kebudayaan berasal dari kata colère, yang berarti mengolah tanah, jadi kebudayaan secara umum dapat diartikan sebagai “segala sesuatu yang dihasilkan oleh akal budi (pikiran) manusia dengan tujuan untuk mengolah tanah atau tempat tinggalnya:, atau dapat pula diartikan segala usaha manusia untuk dapat melangsungkan dan mempertahankan hidupnya di dalam lingkungannya “. Budaya dapat pula diartikan sebagai himpunan pengalaman yang dipelajari, mengacu pada pola-pola perilaku yang ditularkan secara sosial, yang merupakan kekhususan kelompok sosial tertentu.
Kebudayaan merupakan sistem nilai dan gagasan utama (Vital). Sistem nilai dan gagasan utama itu dihayati benar-benar oleh para pendukung kebudayaan yang bersangkutan dalam kurun waktu tertentu, sehingga mendominasi keseluruhan kehidupan para pendukung itu, dalam arti mengarahkan tingkah laku mereka dalam masyarakatnya. Dapat dikatakan pula, bahwa sistem nilai dan gagasan utama itu memberikan pola untuk bertingkah laku kepada masyarakatnya, atau dengan kat lain, memberi seperangkat model untuk bertingkah laku. Sistem nilai dan gagasan utama sebagai hakekat kebudayaan terwujud dalam tiga sistem kebudayaan secara terperinci, yaitu sistem ideologi, sistem sosial dan sistem teknologi. Sistem ideologi meliputi etika, norma, adat istiadat, peraturan hukum yang berfungsi sebagai pengarahan untuk sistem sosial dan berupa interpretasi operasional dari sistem nilai dan gagasan utama yang berlaku dalam masyarakat. Sistem sosial meliputi hubungan dan kegiatan sosial di dalam masyarakat, baik yang terjalin didalam lingkungan kerabat, maupun yang terjadi dengan masyarakat lebih luas serta pemimpin-pemimpinnya. Pengendalian masyarakat dan pemimpin berkembang dengan nilai budaya dan gagasan utama yang berlaku. Sistem teknologi meliputi segala perhatian serta penggunaannya, sesuai dengan nilai budaya yang berlaku. Dalam kebudayaan yang terutama agraris, misalnya dengan sendirinya sistem teknologi sesuai dengan keperluan pertanian.

C.Kluckhohn di dalam karyanya berjudul Universal Categories of Culture mengemukakan, bahwa ada tujuh unsur kebudayaan universal.yaitu :

1. Sistem Religi (sistem kepercayaan).
Merupakan produk manusia sebagai homo religieus. Manusia yang memiliki kecerdasan pikiran dan perasaan luhur, tanggap bahwa di atas kekuatan dirinya terdapat kekuatan lain yang maha besar. Karena itu manusia takut, sehingga menyembahnya dan lahirlah kepercayaan yang sekarang menjadi agama.

2. Sistem organisasi kemasyarakatan.
Merupakan produk dari manusia sebagai homo socius. Manusia sadar bahwa tubuhnya lemah, namun memiliki akal, maka disusunlah organisasi kemasyarakatan dimana  manusia bekerja sama untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya.

3. Sistem pengetahuan.
Merupakan produk manusia sebagai homo sapiens. Pengetahuan dapat diperoleh dari pemikiran sendiri, disamping itu didapat juga dari orang lain. Kemampuan manusia mengingat- ingat apa yang telah diketahui kemudian menyampaikannya kepada orang lain melalui bahasa, menyebabkan pengetahuan menyebar luas. Lebih-lebih bila pengetahuan itu dibukukan, maka penyebarannya dapat dilakukan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

4. Sistem mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi.
Merupakan produk manusia sebagai homo economicus menjadikan tingkat kehidupan manusia secara umum terus meningkat.

5. Sistem Teknologi dan Peralatan.
Merupakan produk dari manusia sebagai homo faber. Bersumber dari pemikirannya yang cerdas dan dibantu dengan tangannya yang dapat memegang sesuatu dengan erat, manusia dapat membuat dan mempergunakan alat. Dengan alat-alat ciptaannya itulah manusia dapat lebih mampu mencukupi kebutuhannya daripada binatang.

6. Bahasa.
Merupakan produk dari manusia sebagai homo longuens. Bahasa manusia pada mulanya diwujudkan dalam bentuk tanda (kode) yang kemudian disempurnakan dalam bentuk bahasa lisan, dan akhirnya menjadi bentuk bahasa tulisan.

7. Kesenian.
Merupakan hasil dari manusia sebagai homo aesteticus. Setelah manusia dapat mencukupi kebutuhan fisiknya, maka dibutuhkan kebutuhan psikisnya untuk dipuaskan. Manusia bukan lagi semata-mata memenuhi kebutuhan isi perut saja, mereka juga perlu pandangan mata yang indah, suara yang merdu, yang semuanya dapat dipenuhi melalui keseruan.


Case Study :

Pernikahan, Berpadunya Dua Budaya
Saat dua insan menikah, konflik menjadi hal yang sangat umum terjadi. Seperti yang ditulis oleh Indah Mulatsih (dalam kompas.com. 4 Juni 2008), adanya berbagai perbedaan individual saat dua orang memutuskan untuk menikah akan berpotensi besar menimbulkan berbagai konflik khususnya di awal pernikahan.
Yang kemudian menjadi permasalahan, seperti yang sampaikan dalam komentar terhadap artikel tersebut oleh Reene, adalah bagaimana jika konflik antar pasangan terjadi dalam frekuensi bahkan mungkin intensitas yang tinggi. Konflik muncul hampir setiap hari dan memunculkan berbagai ”serangan” yang mematikan terhadap pasangan.
Pengaruh ini bahkan dapat terjadi sejak sebelum menikah, misalnya saat perkenalan dan pacaran. Tidak seperti yang terjadi pada banyak budaya yang sering kita sebut sebagai budaya ”barat”.  Dalam budaya kita, perkawinan seringkali tidak hanya merupakan masalah kesatuan dua pribadi saja tetapi juga masalah kesatuan dua keluarga, bahkan dalam banyak kasus merupakan kesatuan dua keluarga besar.
Ketika dalam budaya yang berbeda, anak diminta ”keluar” dari keluarga pada usia tertentu maka dalam budaya kita, masih banyak terjadi adanya ”ikatan kuat” antara seorang anak dan keluarganya, baik secara fisik, ekonomi, maupun psikologis, hingga sang anak berusia dewasa. Malahan dalam banyak kasus, ikatan ini tetap terjalin kuat sampai sang anak menikah bahkan memiliki anak. Akibatnya, saat sang anak mendapatkan masalah atau mencari ”zona kenyamanan psikologis”, dia akan kembali kepada keluarganya.
Sigmund Freud, seorang tokoh psikologi pendiri aliran psikoanalisis klasik, menyebut fenomena ini dengan istilah regresi yang artinya adalah mundurnya individu ke masa-masa yang nyaman sebelumnya. Regresi terjadi ketika di masa sekarang, individu tersebut berhadapan dengan kesulitan yang tidak dapat diatasi.
Tentu saja setiap budaya seperti mata uang, memiliki dua sisi yaitu sisi negatif dan sisi positif. Misalnya saja, ikatan yang kuat dalam keluarga dari sisi yang positif dapat juga mendorong perkembangan kepribadian seorang anak menjadi lebih matang karena dari keluargalah kita mendapatkan penerimaan, penghargaan, dan juga mempelajari berbagai hal dalam kehidupan ini untuk pertama kalinya.

Dengan adanya keunikan budaya kita ini, setiap pasangan yang kemudian menikah perlu bersama-sama menyadarinya. Kita tentu sependapat bahwa saat orang sudah memutuskan untuk menikah maka dia harus berani ”meninggalkan” egosentrisme-nya masing-masing. Hal ini ditunjukkan dengan kesediaan untuk  menyesuaikan diri, dari hal-hal kecil sehari-hari hingga hal-hal yang menuntut perubahan radikal, demi kelangsungan kehidupan perkawinan itu sendiri.

Saat kita memutuskan untuk menikah, yang tidak kalah penting dan sering menjadi masalah dalam kehidupan perkawinan dalam budaya kita adalah ”kehadiran” keluarga asal kita. ”Kehadiran” keluarga asal tersebut tidak seharusnya mengambil ”area” yang lebih besar dibanding  yang disediakan untuk keluarga yang baru kita bentuk dengan pasangan.
Kehadiran keluarga asal seharusnya ikut mendorong kencang laju bahtera kehidupan rumah tangga dan bukan menjadi penghalangnya. Di area ini, individu-individu yang telah memutuskan untuk menikah seringkali ditantang untuk berani mengubah paradigma dan membuat pilihan-pilihan yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Membangun komunikasi yang tulus sehingga lebih mendengarkan aspirasi pasangan seringkali merupakan langkah awal yang baik.
Bagi keluarga asal, baik itu orang tua maupun saudara-saudara kandung, penghargaan terhadap individu di dalam keluarganya yang telah memutuskan untuk menikah adalah hal yang sudah semestinya dilakukan. Hal ini terwujud antara lain dengan kesediaan mulai melonggarkan ikatan-ikatan yang posesif dan pemberian kepercayaan pada individu tersebut untuk mulai bertanggung jawab terhadap kehidupannya sendiri. Konflik di awal perkawinan akibat kehadiran keluarga masing-masing pasangan memang umum terjadi. Dengan melihat unsur budaya, kita juga dapat memahami alasan kemunculannya. Disinilah tanggung jawab dan kedewasaan setiap individu yang akan menikah diuji. Jika kita tidak mencoba menjadi bertanggung jawab atas pilihan kita saat membangun keluarga baru dan justru lebih mengedepankan egosentrisme masing-masing, akan muncul konflik berkepanjangan.
Konflik seperti ini bisa jadi bukan merupakan konflik positif sebagai suatu cara pasangan baru untuk saling menyesuaikan diri namun justru bisa menjadi indikasi tidak adanya kedewasaan dan tanggung jawab saat individu-individu memutuskan untuk menikah. Jika ini terjadi, perkawinan akan sulit untuk ”melaju kencang” bahkan dalam semakin banyak kasus, tidak dapat lagi dipertahankan.


Opini saya tentang kasus tsb :
Tidak ada salahnya jika kita saling mengetahui kebudayaan satu sama lain dengan cara dua individu disatukan dalam satu ikatan pernikahan. Akan tetapi kita harus ingat lain negara, lain budaya dan mereka mempunyai adat istiadat masing-masing. Sebagai warga indonesia yang baik kita harus saling menghargai kebudayaan negara lain dan menjunjung tinggi adat istiadat serta kebudayaan negeri kita juga.